Kehidupan
Minggu, 17 Februari 2019
Daily 63 Tentang Aku Dan Hujan
Minggu, 4 Desember 2016. Tak seperti biasanya hari itu Cilegon hujan deras dan
begitu deras setidaknya hingga angin dari hujan itu hampir menerbangkan jemuran
di depan kontrakanku yang aku jemur semalam. Aku merasa ini hal yang aneh
karena jika biasanya aku selalu mengeluh dengan cuaca kota Cilegon yang selalu
panas panas dan panas setiap hari. Sementara hujan besar setiap hari tak
kunjung henti di tempat orang tuaku di Purwokerto ketika aku menghabiskan waktu
untuk menelpon mereka.
Selama hampir dua tahun aku tinggal di Cilegon aku
sama sekali belum pernah membeli payung ataupun jas hujan karena yang terjadi
biasanya hujan hanya akan turun sesaat dan rintikannya pun tak kunjung deras.
Padahal hujan menyimpan begitu banyak kenangan di
masa kecilku, dari bermain bola bermain lumpur di sawah, bermain di sungai, hingga
bermain perahu kertas yang telah aku tulis dengan tulisan harapan lalu aku
jatuhkan dari jendela kamarku hingga berlalu pergi terbawa arus dan menghilang
untuk selamanya sepertihalnya kenangan ini yang tak mungkin terulang lagi meski
kadang aku lakukannya hanya seorang diri.
Itu yang sering aku lalui kala aku masih duduk di
bangku sekolah dasar. Saat aku mulai menjalani masa SMP aku lebih banyak
menghabiskan waktu dirumah kala hujan, untuk sekedar bermain Play Station
bermain gitar, kecuali disaatku harus berangkat ke lapangan di desaku untuk
berlatih ataupun bertanding sepak bola antar kampung, walau badai hujan
lebatpun pasti akan aku terjang. Paling-paling yang tersisa dari hari itu hanya
omelan ibuku, tapi aku tak peduli ini akan menjadi kenaganku kelak, lagi pula
malamnya aku tak mungkin bolos Madrasah hanya karena alasan hujan karena
sesungghnya aku menyukai hujan.
Hal berbeda mungkin terjadi di putih abu-abu, ya
berbeda namun masih sama tentang hujan. Hujan menahanku pada ketidakpastian,
meninggalkan kenangan kala menunggu seseorang diperkampungan yang mencekam di
sela lampu-lampu pedesaan yang padam karena pemadaman, hujan yang tak kunjung
reda dan tentang seseorang yang kini tiada telah menghilang tanpa jejak,
persahabatan yang hanya angan hari-hari lalu yang berlalu tanpa memberi dampak
apapun pada jalannya kehidupan, terutama dalam kehidupanku.
RAIN, RANI, NIA.
Rani Nia dan hujan, kata yang berasal dari huruf
yang mungkin bisa saling melengkapi, nama singkat yang saling behubungan. Tapi
tidak untuk hubungan cinta segitiga seperti dalam film-film telenofela ataupun
melodrama. Tidak, tidak sama sekali. Sementara aku hanya kamuflase diantara
mereka.
Atau mereka yang hanya kamuflase dalam hidupku?
Tapi hujan sepertinya tidak pernah berkhianat, meski
kesejukan itu dan aroma itu hanya sesaat. Kalau hujan membuat aku ataupun kamu
nyaman. Kenapa kamu tidak kecewa padahal kamu tahu dia bakalan pergi? Aku bukan
hujan yang pantas kalian rindukan,
Saat itu aku baru menjalani kehidupan awalku di
putih abu-abu, hari berlalu begitu membosankan hingga aku mencoba membuka mata,
dan sampailah aku pada hubungan rumit diantara mereka. Semua seolah tak pernah
beres.
Aku mulai mengenal Rani dari pertemuan tak sengaja
di rumah temanku, saat itu kami hanya diam bahkan tak saling sapa. Saat itu
kotaku sedang hujan lebat. Rani adalah tetangga dari teman kelasku, malam itu
aku diajak temanku untuk bertemu dengan teman-teman di kampungnya termasuk perempuan
itu, Rani.
Aku tahu aku hanya orang asing, dan aku selalu
memposisikan diriku untuk bisa bersikap sebagaimana mestinya, karena memang aku
bukan bagian dari mereka, meskipun kehangatan dan keceriaan mereka begitu
terasa ketika aku berada diantara mereka. Mereka sebagian besar bersekolah di
SMK N 1 Purwokerto yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolahku di SMK N 2
Purwokerto.
Dari pertemuan singkat itu, aku berteman dengan
Rani, hampir tiada henti tiap hari kami berbalas sms, hingga akupun sering
untuk ke rumahnya. Aku selalu pergi diam-diam kerumahnya tanpa sepengetahuan
teman yang lain karena aku rasa akan berdampak tidak baik. Hingga suatu malam
aku mendapat pesan singkat dari Rani untuk pergi kerumahnya, berbeda dengan
lingkungan rumahku yang ramai di pinggiran kota rumah Rani terletak di
perkampungan yang dalam, aku berhasil sampai depan pintu rumahnya sebelum hujan
begitu deras mengguyur dan lampu perkampungan yang padam, aku mengetuk pintu
rumahnya namun hanya suasana hening yang aku dapati. Aku menelponnya namun
tidak aktif, satu jam dua jam waktu berlalu hujan tetap deras sementara listrik
tak kunjung menyala.
Sekitar pukul 10 malam aku pergi dengan kekecewaan,
aku kaget ketika berpapasan dengan Lia sahabat dekat Rani, namun aku tak peduli
dan segera aku gas motorku dengan cepat menembus hujan deras dan lampu padam
sepanjang perkampungan.
Berkali kali Lia menanyakan tentang perasaanku
kepada Rani yang sesungguhnya, namun aku hanya diam, aku tak tahu.
Sementara Nia adalah teman sekelas Rani. Dia
mengenalku dari nomer handphoneku yang Rani berikan, Rani memberikan nomerku
kepadanya karena dia adalah teman baiknya. Hingga hari demi hari semakin tak
beres, Rani selalu mengait-ngaitkan diriku dengan Nia, sementara Nia selalu
mengutuk dirinya sendiri sebagai penghancur hubunganku dengan Rani. Hubungan?
Hubungan apa?
Aku semakin tak mengerti dengan mereka. Dan pertemanan dan hari
indah itu berakhir begitu saja. Nia akhirnya menghilang bersama hujan,
menghilang bersama kesedihan, dia selalu merasa kehadirannya hanya merusak
hidupku, ya hingga kini dia menghilang.
Sementara Rani? Entahlah semua terlupa termakan
waktu, 3 tahun sudah tak adalagi kontak diantara kami, apalagi setelah aku
memutuskan untuk pindah ke Banten, yang aku tahu dia kini menjalani Kuliah
disalah satu Universitas di kotaku dulu, Kota Purwokerto.
Tak peduli seberalama terbentur waktu, mungkin aku
hanyalah sebatas hujan datang sesaat dan berlalu begitu saja. Yang selalu
membawa aroma kedukaan, dan mungkin juga kini dia telah benar-benar lupa
tentang diriku namun aku tak pernah melupakannya setidaknya tulisan ini yang
akan selalu mengingatkan bahwa pernah ada kisah tentang hujan tentang seseorang
yang nyata dalam hidupku, tapi kalau hujan yang bikin bolos sekolah, gausah
kamu ingat- ingat yah haha kan cuman kamu yang bolos.
Bagiku hujan adalah bekah yang Allah ciptakan, untuk
menyejukan alam bumi ini dan seisinya, memberikan rasa nyaman bagi mereka yang
benar-benar bisa manghayatinya. Aku tak peduli hujan membuatku sakit karena air
mataku tak pernah terlihat kala hujan, darah di kepalaku ketika pertandingan
antar kampung sore itupun hilang karena hujan, setelah skian lama menghilang
kini aku lalui hari hariku lagi dikota baruku ini bersama hujan, meski hanya
seorang diri dan sendiri lagi. Tapi bukankah ini seperti masa kecilku ketika
aku selalu menjatuhkan perahu kertas harapan dari jendela? Hujan juga kadang
tentang kerinduan, aku rindu Ayah Ibuku yang selalu memarahiku kala hujan,
hampir dua tahun berlalu dan tidak ada kalian? Aku harap ayah dan ibu selalu
tersenyum, aku sudah ga bandel lagi, disini aku sudah ga pernah hujan-hujanan
lagi, karena aku tahu penyakitku akan bertambah parah.
Dan untuk semua yang pergi dan berlalu bersama
hujan, itu semua adalah takdir tuhan yang Allah ciptakan agar tidak
membosankan? Tapi kenapa selalu berakhir dengan kesedihan? Ya agar tidak
membosankan.
Harapnku aku berharap kelak aku masih mempunyai umur
untuk melewati hujan bersama seseorang, jika tidak, setidaknya aku ingin
seseorang tersenyum karena hujan tanpa ada lagi kesepian dan kesedihan
didalamnya.
Langganan:
Postingan (Atom)