Kehidupan

Cara menghasilkan uang dari blog

Minggu, 04 Desember 2016

Aku dan Hujan (Sebuah Kisahku Tentang Hujan)



Minggu, 4 Desember 2016. Tak seperti  biasanya hari itu Cilegon hujan deras dan begitu deras setidaknya hingga angin dari hujan itu hampir menerbangkan jemuran di depan kontrakanku yang aku jemur semalam. Aku merasa ini hal yang aneh karena jika biasanya aku selalu mengeluh dengan cuaca kota Cilegon yang selalu panas panas dan panas setiap hari. Sementara hujan besar setiap hari tak kunjung henti di tempat orang tuaku di Purwokerto ketika aku menghabiskan waktu untuk menelpon mereka.

Selama hampir dua tahun aku tinggal di Cilegon aku sama sekali belum pernah membeli payung ataupun jas hujan karena yang terjadi biasanya hujan hanya akan turun sesaat dan rintikannya pun tak kunjung deras.

Padahal hujan menyimpan begitu banyak kenangan di masa kecilku, dari bermain bola bermain lumpur di sawah, bermain di sungai, hingga bermain perahu kertas yang telah aku tulis dengan tulisan harapan lalu aku jatuhkan dari jendela kamarku hingga berlalu pergi terbawa arus dan menghilang untuk selamanya sepertihalnya kenangan ini yang tak mungkin terulang lagi meski kadang aku lakukannya hanya seorang diri.

Itu yang sering aku lalui kala aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat aku mulai menjalani masa SMP aku lebih banyak menghabiskan waktu dirumah kala hujan, untuk sekedar bermain Play Station bermain gitar, kecuali disaatku harus berangkat ke lapangan di desaku untuk berlatih ataupun bertanding sepak bola antar kampung, walau badai hujan lebatpun pasti akan aku terjang. Paling-paling yang tersisa dari hari itu hanya omelan ibuku, tapi aku tak peduli ini akan menjadi kenaganku kelak, lagi pula malamnya aku tak mungkin bolos Madrasah hanya karena alasan hujan karena sesungghnya aku menyukai hujan.

Hal berbeda mungkin terjadi di putih abu-abu, ya berbeda namun masih sama tentang hujan. Hujan menahanku pada ketidakpastian, meninggalkan kenangan kala menunggu seseorang diperkampungan yang mencekam di sela lampu-lampu pedesaan yang padam karena pemadaman, hujan yang tak kunjung reda dan tentang seseorang yang kini tiada telah menghilang tanpa jejak, persahabatan yang hanya angan hari-hari lalu yang berlalu tanpa memberi dampak apapun pada jalannya kehidupan, terutama dalam kehidupanku.

RAIN, RANI, NIA.

Rani Nia dan hujan, kata yang berasal dari huruf yang mungkin bisa saling melengkapi, nama singkat yang saling behubungan. Tapi tidak untuk hubungan cinta segitiga seperti dalam film-film telenofela ataupun melodrama. Tidak, tidak sama sekali. Sementara aku hanya kamuflase diantara mereka.
Atau mereka yang hanya kamuflase dalam hidupku?

Tapi hujan sepertinya tidak pernah berkhianat, meski kesejukan itu dan aroma itu hanya sesaat. Kalau hujan membuat aku ataupun kamu nyaman. Kenapa kamu tidak kecewa padahal kamu tahu dia bakalan pergi? Aku bukan hujan yang pantas kalian rindukan,

Saat itu aku baru menjalani kehidupan awalku di putih abu-abu, hari berlalu begitu membosankan hingga aku mencoba membuka mata, dan sampailah aku pada hubungan rumit diantara mereka. Semua seolah tak pernah beres.

Aku mulai mengenal Rani dari pertemuan tak sengaja di rumah temanku, saat itu kami hanya diam bahkan tak saling sapa. Saat itu kotaku sedang hujan lebat. Rani adalah tetangga dari teman kelasku, malam itu aku diajak temanku untuk bertemu dengan teman-teman di kampungnya termasuk perempuan itu, Rani.

Aku tahu aku hanya orang asing, dan aku selalu memposisikan diriku untuk bisa bersikap sebagaimana mestinya, karena memang aku bukan bagian dari mereka, meskipun kehangatan dan keceriaan mereka begitu terasa ketika aku berada diantara mereka. Mereka sebagian besar bersekolah di SMK N 1 Purwokerto yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolahku di SMK N 2 Purwokerto.

Dari pertemuan singkat itu, aku berteman dengan Rani, hampir tiada henti tiap hari kami berbalas sms, hingga akupun sering untuk ke rumahnya. Aku selalu pergi diam-diam kerumahnya tanpa sepengetahuan teman yang lain karena aku rasa akan berdampak tidak baik. Hingga suatu malam aku mendapat pesan singkat dari Rani untuk pergi kerumahnya, berbeda dengan lingkungan rumahku yang ramai di pinggiran kota rumah Rani terletak di perkampungan yang dalam, aku berhasil sampai depan pintu rumahnya sebelum hujan begitu deras mengguyur dan lampu perkampungan yang padam, aku mengetuk pintu rumahnya namun hanya suasana hening yang aku dapati. Aku menelponnya namun tidak aktif, satu jam dua jam waktu berlalu hujan tetap deras sementara listrik tak kunjung menyala.

Sekitar pukul 10 malam aku pergi dengan kekecewaan, aku kaget ketika berpapasan dengan Lia sahabat dekat Rani, namun aku tak peduli dan segera aku gas motorku dengan cepat menembus hujan deras dan lampu padam sepanjang perkampungan.

Berkali kali Lia menanyakan tentang perasaanku kepada Rani yang sesungguhnya, namun aku hanya diam, aku tak tahu.

Sementara Nia adalah teman sekelas Rani. Dia mengenalku dari nomer handphoneku yang Rani berikan, Rani memberikan nomerku kepadanya karena dia adalah teman baiknya. Hingga hari demi hari semakin tak beres, Rani selalu mengait-ngaitkan diriku dengan Nia, sementara Nia selalu mengutuk dirinya sendiri sebagai penghancur hubunganku dengan Rani. Hubungan? Hubungan apa? Aku semakin tak mengerti dengan mereka. Dan pertemanan dan hari indah itu berakhir begitu saja. Nia akhirnya menghilang bersama hujan, menghilang bersama kesedihan, dia selalu merasa kehadirannya hanya merusak hidupku, ya hingga kini dia menghilang.

Sementara Rani? Entahlah semua terlupa termakan waktu, 3 tahun sudah tak adalagi kontak diantara kami, apalagi setelah aku memutuskan untuk pindah ke Banten, yang aku tahu dia kini menjalani Kuliah disalah satu Universitas di kotaku dulu, Kota Purwokerto.

Tak peduli seberalama terbentur waktu, mungkin aku hanyalah sebatas hujan datang sesaat dan berlalu begitu saja. Yang selalu membawa aroma kedukaan, dan mungkin juga kini dia telah benar-benar lupa tentang diriku namun aku tak pernah melupakannya setidaknya tulisan ini yang akan selalu mengingatkan bahwa pernah ada kisah tentang hujan tentang seseorang yang nyata dalam hidupku, tapi kalau hujan yang bikin bolos sekolah, gausah kamu ingat- ingat yah haha kan cuman kamu yang bolos.

Bagiku hujan adalah bekah yang Allah ciptakan, untuk menyejukan alam bumi ini dan seisinya, memberikan rasa nyaman bagi mereka yang benar-benar bisa manghayatinya. Aku tak peduli hujan membuatku sakit karena air mataku tak pernah terlihat kala hujan, darah di kepalaku ketika pertandingan antar kampung sore itupun hilang karena hujan, setelah skian lama menghilang kini aku lalui hari hariku lagi dikota baruku ini bersama hujan, meski hanya seorang diri dan sendiri lagi. Tapi bukankah ini seperti masa kecilku ketika aku selalu menjatuhkan perahu kertas harapan dari jendela? Hujan juga kadang tentang kerinduan, aku rindu Ayah Ibuku yang selalu memarahiku kala hujan, hampir dua tahun berlalu dan tidak ada kalian? Aku harap ayah dan ibu selalu tersenyum, aku sudah ga bandel lagi, disini aku sudah ga pernah hujan-hujanan lagi, karena aku tahu penyakitku akan bertambah parah.

Dan untuk semua yang pergi dan berlalu bersama hujan, itu semua adalah takdir tuhan yang Allah ciptakan agar tidak membosankan? Tapi kenapa selalu berakhir dengan kesedihan? Ya agar tidak membosankan.

Harapnku aku berharap kelak aku masih mempunyai umur untuk melewati hujan bersama seseorang, jika tidak, setidaknya aku ingin seseorang tersenyum karena hujan tanpa ada lagi kesepian dan kesedihan didalamnya.

Kamis, 20 Oktober 2016

Untukmu Paman "Sebuah Kisah Tentang Hari Raya Idul Fitri 1437 H"





Untukmu Paman

     Jika aku boleh bertanya tentang bagaimana kehidupan anda saat ini? Bahagia,senang,menggembirakan atau sedih? Penuh dengan noda hitam kelam? Sebaliknya jika seseorang yang bertanya kepadaku entah mungkin aku tak pernah bisa menjawab. Bagiku hidup itu seperti angin dapat berubah seenaknya dengan cepat. Sepertihalnya diriku.

     Tulisan ini bukanlah sebuah karangan fiksi seperti yang banyak aku tulis di tulisanku sebelumnya, ini adalah kisah nyata dari diriku sendiri, penulis blog ini.
Sebelumnya aku akan memperkenalkan diriku. Namaku Triocahyo Utomo aku biasa di panggil Cahyo, aku berasal dari keluarga yang hidup di kalangan menengah kebawah di kota Purwokerto, Jawa Tengah. Jika ingin lebih jelas lagi mungkin lebih tepat aku hidup di kalangan bawah, tidak menengah sama sekali.

     Tidak seperti anak-anak pada umumnya masa kecilku terbatas, aku benar-benar hanya memiliki sedikit waktu setiap harinya, bahkan aku jarang bermain dengan teman-temanku. Aku baru diijinkan main setelah menyelesaikan menghitung potongan-potongan kaleng bekas yang ibuku buat untuk membuat sadap, goresan luka pada jariku darah yang mengalir adalah hal yang biasa, bahkan waktu libur sekolahpun kadang harus terenggut karna hal itu, saat itu yang aku pikirkan hanya kecewa dan jengkel seperti anak SD pada umumnya, hinga semakin lama aku sadar akan sulitnya mencari rupiah demi rupiah untuk menyambung hidupku.

     Sementara ayahku adalah seorang pedagang kaki lima dengan penghasilan pas-pasan bahkan aku pikir tidak pas sama sekali. Tak jarang beliau pulang kerumah tanpa mendapat uang sepeserpun. Pagi-pagi sekali ayah berangkat berjualan dan petang ayah baru pulang, hampir tak ada waktu sama sekali untukku. Begitupun ibu yang kini membantu menggosok pakaian dirumah tetangga.

     Tapi ini cerita bukan tentang ayah ataupun ibuku, melainkan pamanku.Tidak seperti ayah dan ibuku yang pekerjaannya kadang berubah seiring berjalannya waktu namun tidak dengan pamanku.
Ia bekeja sebagai tukang pande besi, ia mempunyai usaha sendiri dan menurutku cukup berhasil, tak jarang beliau membantu membiayai biaya sekolahku memberikan uang saku dan memberikanku uang jajan ketika liburan karena ayah dan ibuku tidak pernah sama sekali memberikan uang jajan kepadaku ketika sekolah libur, aku juga memahami hal itu.

     Kesibukan orang tuaku dan waktu yang sedikit ketika bersamaku membuatku lebih banyak menghabiskan waktu bersama paman dan bibiku, entah sepulang sekolah ataupun hari libur.
Waktu semakin berjalan dan usaha pamanku semakin berkembang aku yang semakin dewasa mulai sering belajar membantu usaha pamanku, bahkan beliau sering berkata padaku bahwa kelak semoga aku bisa mengembangkan usahanya, dan aku mulai menikmati hal itu.

     Kadang aku terngiang akan masa kecilku lagi, ketika aku menangis saat ayahku tak pernah membelikanku mainan hingga aku lelah menunggu, lalu pamanku mendatangiku membawaku ke tempat penjual mainan, begitu juga saat sepatu bola usangku yang jebol, paman membelikanku tepat sehari sebelum ekskul sepak bola di SMP dimulai.

     Aku tak pernah tau jika tak ada paman dalam hidupku, begitu banyak bahkan terlalu banyak bantuan yang ia berikan untukku bahkan terlalu banyak, beliau begitu baik tak pernah memarahiku beliau selalu mengajarkanku untuk selalu menjadi lelaki yang kuat kapanpun dan dimanapun.

     Waktu berlalu tahun berganti aku akhirnya menyelesaikan pendidikanku pada tahun 2014 sebagai siswa lulusan Teknik Instalasi Tenaga Listrik di SMKN 2 Purwokerto, kenyataanku untuk cepat merubah nasib sepertinya belum berpihak ketika aku gagal untuk mengikuti training kerja di PT ASTRA HONDA MOTOR (PT AHM Sunter, Jakarta). Setelah itu banyak waktu aku habiskan untuk membantu pamanku di besalen setelah berbagai pekerjaan serabutan dan pelatihan yang aku jalani setelah lulus sekolah.

     Nasib sedikit membaik ketika aku diterima bekerja di perusahaan tepung yang cukup terkemuka di Cilegon,Banten. Tujuan awalku bekerja adalah untuk bisa kembali meneruskan pendidikan dengan harapan kembali mendapatkan beasiswa karena aku masih ingin terus belajar mengembangkan diriku dan tentunya merubah kehidupan keluargaku.

     Sekitar jalan 5 bulan bekerja aku sempat kembali ke kampung halamanku di Purwokerto, Jawa Tengah. Tak banyak perubahan yang terjadi disana, rumah sekeliling semua masih hampir sama. Semua anggota keluargaku terlihat bahagia ketika untuk pertama kalinya aku kembali setelah merantau jauh begitupun pamanku, yang tak pernah aku berfikir pertemuan itu hari itu di pertemuan yang begitu singkat itu adalah pertemuan terakhirku dengan pamanku, aku masih begitu ingat hari itu Minggu, 27 Desember  2015 aku berpamitan dengan beliau untuk kembali berangkat ke Cilegon, Banten tempat aku kini bekerja.

     Sebelum tiga bulan kemudian tepatnya hari Minggu, 20 Maret 2016 beliau menghembuskan nafas terakhir, tidak ada tanda-tanda sakit keras sebelum beliau meninggal, mendengar kabar itu aku diam termenung dan tak percaya, Secepat itukah? Rencanamu memang begitu mengejutkan Ya Allah, dengan penuh kesedihan aku mengikhlaskannya. Yang bisa aku lakukan saat itu hanya shalat jenazah ghoib mendoakannya dan merenung sepanjang malam dikamar kontrakanku seorang diri. 

     Atas saran dan perdebatan panjang orang tuaku dan bibiku memintaku untuk tetap fokus pada pekerjaanku, namun aku mempunyai pikiran lain, karena hanya air mata disitu, perlu di ketahui mereka memberi kabar kepadaku menjelang pemakaman beliau, karena semuanya memang begitu cepat.

      Sekarang yang hanya bisa lakukan untuk membalas kebaikannya hanya dengan senantiasa mendoakannya, aku tahu aku sudah cukup dewasa untuk menerimanya, semoga paman senantiasa bahagia disana. 

     Waktu kembali berjalan, sebentar lagi perayaan hari raya idul fitri sekaligus juga menandakan bahwa sebentar lagi aku akan kembali kerumah, sehari sebelum kembali aku sempat menghabiskan waktu untuk menikmati suasana ibukota sesaat, menghilankan segala penat dan menghapuskan segala kesedihanku. Setidaknya keramaian Jakarta menjadi sedikit penghibur bagiku meski saat itu aku masih merasa sepi didalam keramaian sekalipun.

     Malamnya aku segera menuju stasiun Gambir menunggu kereta Purwojaya Lebaran Tambahan yang akan berangkat pada pukul 19.30 w.i.b. meskipun ini puncak arus mudik namun perjalanan ini tak seramai biasanya, kecuali pemandangan kelap kelip dari luar kereta yang begitu panjang dan indah menandakan sebuah kemacetan yang begitu panjang di jalur pantura.

     Tengah malam ketika gemerlapnya kota Purwokerto yang mulai surut akhirnya aku tiba di stasiun Purwokerto, Penumpang berhamburan turun dan masing-masing disambut dengan hangat oleh keluarganya. Pemandangan yang hampir sama ketika aku turun dari kapal Ferry dari Pelabuhan Bakauheni menuju Pelabuhan Merak beberapa bulan yang lalu, bedanya kala itu hingga rombongan keluarga yang sedang menjemput kapal habis dan pergi tak ada yang menjemputku. Tentunnya karena aku tinggal sendiri. Namun kini aku melihat ayahku telah menunggu, hal yang sangat jarang ketika ayahku menemputku tepat waktu.

     Sepertihalnya daun yang gugur dan tumbuh kembali aku melihat keadaan kotaku yang semakin berkembang, kampungku yang telah begitu banyak berubah, dan juga lingkungan rumah yang telah berbeda, satu per satu keluarga aku salami dan yah aku teringat ada yang begitu berbeda kala aku mengingat pamanku yang telah tiada.

     Besalen yang dulu tempat sehari-hariku bekerja dengan pamanku kini telah begitu usang dan kelam, atap yang bocor, dan bagitu banyak peralatan yang tak terurus, rupanya tempat itu kini masih digunakan oleh bibiku sebagai tempat untuk penyimpanan kayu bakar.

     Keadaan ini sungguh telah berbeda, ayah yang semakin menua dengan penghasilan yang tak menentu dan pamanku yang sudah tiada, akhirnya dengan segala pemikiran yang mendalam aku membatalkan kuliah tahun ini, ini adalah sebulan sebelum tepat setahun aku bekerja, dan rencanaku setahun yang lalu adalah kepulanganku saat ini sekaligus untuk mengurus pendaftaranku di Universitas Jerndral Soedirman Purwokerto, tapi aku tahu rencana Allah SWT berbeda, tabunganku saat ini mungkin cukup untuk menyelesaikan kuliahku dan untuk sehari-hari. Tapi bagaimana dengan keluargaku? Bagaimana dengan bibiku yang kini hidup sebatangkara? 

     Rabu, 6 Juli 2016 hari itu kami semua seluruh umat muslim didunia merayakan hari raya idul fitri 1437 Hijriyah. Hari penuh kemenangan dan penuh kebahagiaan, harusnya. Karena dibalik kebahagiaan itu ada kesedihan. Jika di tahun-tahun sebelumnya aku mengantar pamanku berziarah kini aku sendiri yang pergi untuk berziarah ke makam beliau. Untuk pertama kalinya, setelah pertemuan singkat tujuh bulan yang lalu. Tak terasa waktu begitu cepat. Sungguh luar biasa kuasamu Ya Allah, seringkali sesuatu  yang telah kita rencanakan di masa lalu apa yang kita pikirkan saat ini tak seperti kuasa dan takdirmu di masa mendatang. Terima kasih atas pelajaran hidup ini. Semoga Engkau senantiasa menempatkan pamanku di tempat yang terbaik di sisi-Mu Ya Allah. Aamiin Ya Rabbal `alamiin.

     Ini adalah kisah mudik pertamaku kawan, pertama kalinya aku kembali ke kampung halamanku ketika hari raya tepatnya pada hari raya idul fitri 1437 Hijriyah (6 Juli 2016)  setelah aku merantau ke Kota Cilegon pada pertengahan tahun 2015 tepatnya 28 Juli 2015. Pada pengalaman mudik perdanaku ini aku kehilangan salah satu orang paling berpengaruh dalam hidupku, juga tentang idul fitri yang bebeda, ketika pertama kalinya kamu merantau jauh dan kembali. 

Ini kisahku, Bagaimana dengan anda?

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1437 HIJRIYAH MINAL AIDZIN WAL FAIDZIN

Minggu, 02 Oktober 2016

Puisi Ketika Senja Berakhir

Malam seakan membisu
Betapa nasib sakti yang kian terbelenggu
Ada benalu  yang tercampaikan?
Hati yang telah mati, atau terabaikan?
Aku rasa semuanya bukan ingatan
Buat apa aku bertahan,
Ketika semua justru menjauh dan semakin jauh
Aku ingin melupakan
Namun aku sadar aku tak melakukan apapun
Bahkan siapapun
Lalu apa yang harus aku lupakan?
Aku bingung dengan diriku sendiri
Aku ingin bahagia juga seperti orang lain
Aku ingin tertawa bersama
Juga seperti orang lain



by Triocahyo Utomo
@tri_spidey3

Jumat, 29 Juli 2016

Artikel Puisi "Serdadu Garuda"

Serdadu Garuda

Dalam asa, dalam derita, dalam air mata
Tersisa secercah semangat dalam jiwa
Bahu membahu bagai serdadu
Untuk menerbangkan tinggi sang garuda
Getir pahit seakan sudah menjiwa
Dalam belenggu ketidakpastian seakan mencekam
Ribuan semangat, peluh yang terabaikan
Drama.. sejarah dan legenda
Mereka akan dibawa pergi kemana?
Jika berlayar hanya dengan satu dayung saja
Kita kaya potensi
Namun mungkin tak begitu kaya hati
Hingga begitu banyak terlewati
Kapankah kita semua bisa melihatnya lagi?
Sebelas seerdadu garuda mengharumkan nama negeri



Sebuah puisi sederhana tentang carut marutnya dunia persepakbolaan di negeri kita Indonesia yang tercinta ini.  Dualisme kompetisi, hak yang tak terbayarkan, bentrok antar suporter, kerusuhan demi kerusuhan hingga seakan tak ada kenyamanan lagi untuk sekedar melihat tim kebanggaan bertanding dari tribun.